Makalah
Ekonomi Mikro Islam
TEORI KONSUMSI DAN
PRILAKU
KONSUMEN ISLAM
Oleh
:
Harianto
Arbi (140603114)
Nisa
Ayu Purwati (140603110)
Anjar
Restu(140603112)
Agus
Maulini (140603119)
Muhibbatul
Alami (140603117)
Dosen
Pembimbing:
Hafiz
Maulana, SP, S.H.I, ME.
JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS AR-RANIRY
TAHUN 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Ruang Lingkup Kelembagaan Bank” ini. Salawat dan salam penulis
sanjungkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabat beliau
yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliah ke alam islamiah.
Makalah ini
dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Sistem Perbankan Konvensional.
Penulis telah
berupaya semaksimal mungkin supaya penulisan Makalah ini sempurna. Namun, atas
keterbatasan wawasan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis masih sangat
memerlukan perbaikan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan Makalah ini. Akhirulkalam, semoga
Makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
BandaAceh,
21 November
2015
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG ............................................................................... 1
B.
PERMASALAHAN.................................................................................... 2
BAB II
TEORI KONSUMSI DAN PRILAKU KONSUMEN
A.
Konsep Mashlahah Sebagai
Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam ..... 2
B.
Prilaku
Konsumen ...................................................................................... 5
C.
Mashlahah
dalam Konsumsi ...................................................................... 8
D.
Kebutuhan
dan Keinginan ........................................................................ 11
E.
Keinginan
Manusia dan Pemenuhannya .................................................. 13
F.
Kesederhanaan
dalam Konsumsi .............................................................. 15
G.
Model
Keseimbangan Dalam Konsumsi Islam ......................................... 17
H.
Keritikan
Terhadap Teori Konsumsi Konvensional ............................... 21
I.
Perbedaan
Konsumsi Barat dan Islam ..................................................... 24
BAB III
KESIMPULAN....................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Di
dalam siklus ekonomi yang bermula dengan memperoleh kekayaan, konsumsi
barangkali merupakan tahap yang terakhir dan paling penting. Di dalam ilmu
ekonomi konsumsi bermakna membelanjakan kekayaan untuk memenuhi keinginan
manusia seperti makanan, pakaian, perumahan, barang-barang dan kebutuhan
sehari-hari, pendidikan, kesehatan, kebutuhan pribadi maupun yang lainnya, dan
sebagainya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada batas bagi keinginan
manusia yang tak dapat di kenyangkan itu. Mengingat hal itu, amat perlulah
orang berhati-hati dalam mengonsumsi kekayaan.
Sebuah
mekanisme yang terkadang tanpa pernah kita sadari, lebih dari berjuta-juta
komoditi atau jasa tersebut. Ketika membuat pilihan kita membuat penilaian
tertentu tentang nilai relatife segala komoditas yang berjuta-juta jenis
tersebut. Sekitar 500 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW, Imam Al-Ghazali,
telah mampu menuliskan bagaimana fungsi kesejahteraan, Utilitas atau Kepuasan
yang merupakan penentu apakah sebuah barang lebih disukai atau tidak
dibandingkan dengan barang yang lain[1].
Dengan demikian, teori konsumsi sangatlah dipengaruhi oleh fungsi utilitas.
B.
PERMASALAHAN
Adapun
permasalahan yang akan kami bahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa itu teori konsumsi
?
2.
Bagaiman tujuan utama
konsumsi dalam Islam ?
3.
Seperti apa kegiatan
konsumsi itu ?
4.
Ada berapa aturan
konsumsi dalam Islam ?
5.
Apa perbedaan kebutuhan
dan keinginan di dalam Islam ?
6.
Seperti apa
keseimbangan konsumsi di dalam Islam ?
7.
Apa perbedaan konsumsi
Islam dan Kapitalis, maupun Sosiali ?
BAB II
TEORI KONSUMSI DAN
PRILAKU KONSUMEN
A.
Konsep Mashlahah Sebagai
Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam
Secara umum konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi
juga memiliki pengertian yang hampir sama, tapi ada perbedaan yang
melingkupinya. Perbedaan yang mendasar adalah tujuan pencapaian dari konsumsi
dan cara pencapaiannya yang harus memenuhi Kaidah Syariah Islam.
Tujuan utama konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai
sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya konsumsi selalu
didasari niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada
Allah, sehingga menjadikan konsumsi juga bernilai ibadah. Sebab hal-hal yang
mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada
Allah, dalam hal ini dimaksudkan untuk menambah potensi mengabdi
kepada-Nya. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib
yang tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan tujuan dalam
penciptaan manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya hanya kepada Allah untuk mencapai
falah.
Falah adalah kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia
dan akhirat. Falah dapat terwujud apabila kebutuhan-kebutuhan hidup manusia
terpenuhi secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan memberikan
dampak yang disebut mashlahah. Mashlahah adalah segela bentuk keadaan, baik material
maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang paling mulia.
Kandungan mashlahah terdiri atas manfaat dan berkah.
Dalam konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang
dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasakan adanya manfaat
dalam konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh ketika ia
mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat islam.[2]
Mashlahah yang diterima oleh seorang konsumen ketika mengkonsumsi barang
dapat berbentuk salah satu diantara hal-hal sebagai berikut :
a. Manfaat material, yaitu diperolehnya tambahan harta bagi
konsumen berupa harga yang murah, diskon, kecilnya biaya, dsb.
b. Manfaat fisik dan psikis, yaitu terpenuhinya kebutuhan
baik fisik maupun psikis terpenuhinya kebutuhan akal manusia
c. Manfaat intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan
informasi, pengetahuan, ketrampilan, dll .
d. Manfaat lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan
selain pembeli misalnya, mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih
banyak orang jika dibandingkan dengan mobil sedan.
e. Manfaat jangka panjang, yaitu terpeliharanya manfaat
untuk generasi yang akan datang, misalnya hutan tidak dirusak habis untuk
kepentingan generasi penerus.
Disamping itu
kegiatan konsumsi akan membawa berkah bagi konsumen jika :
a. Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
b. Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan
c. Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk
mendapatkan ridho Allah
Konsep maslahah,
memiliki makna yang lebih luas dari sekadar utility atau
kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Ghazali, maslahah adalah
sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan
dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar maslahah,
yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta
benda (al mal), keyakinan(al-din), intelektual (al-aql),
dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang
mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada
setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Maslahah bersifat
subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim dalam menentukan
apakah suatu perbuatan merupakan maslahah atau bukan bagi dirinya. Berbeda
dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh
syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun
syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut
menjadi gugur. Maslahah orang per orang akan konsisten dengan maslahah orang
banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum,
yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat
kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau
kesejahteraan orang lain.
B.
Prilaku
Konsumen
Prilaku konsumen berdasarkan
tuntutan Al-Qur’an dan hadist. Prilaku konsumen (consumen behavior) mempelajari
bagaimana manusia memilih diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan
memanfaatkan sumber daya (resources) yang dimilikinya teori prilaku konsumen
dibangun berdasarkan syari’at islam, memiliki perbedaaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut
nilai dasar yang menjadi dasar fondasi, teori, motif, dan tujuan konsumsi,
hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi
nilai fondasi bagi prilaku konsumsi masyarakat muslim;
a. Keyakinan
akan adanya hari kiamat dan kehidupan akahirat, prinsip ini mengarahkan
konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat dari pada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah dari pada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk
ibadah merupakan Future Consuption ( karena mendapat balasan surge diakhirat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah Present Consuption.
b. Konsep
sukses di dalam islam diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah
kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas seseorang muslim maka semakin
tinggi pula kesuksesan yang dicapainya. Kebajikan, kebenaran, dan ketaqwaan
kepada Allah merupakan kunci moralitas seorang muslim. Kebjikan dan kebenaran
dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan
menjauhkan diri dari kejahatan.
c. Kedudukan
harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat
buruk ( sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.[3]
Ada beberapa aturan yang dijadikan
sebagi pegangan untuk mewujudkan rasionalitas dalam berkonsumsi.
1. Tidak
boleh hidup bermewah-mewahan.
2. Pelarangan
israf (kikir), tabdzir (boros), dan safih (menuruti hawa nafsu).
3. Keseimbangan
dalam berkosumsi.
4. Larangan
berkosumsi atas barang dan jasa yang membahayakan/ haram.
Ada
beberapa prinsip-prinsip berkosumsi di dalam ekonomi islam, diantaranya[4]:
1. Prinsip
Halal: seorang muslim diperintahkan oleh musllim untuk mengesumsi makan-makanan
yng halal ( sah menurut hukum dan diizinkan) dan tidak mengambil makanan yang
haram (tidak sah menurut hukum dan terlarang).
2. Prinsip
Kebersihan dan menyehatkan: seabagaiman firman Allah di dalam Al-Qur’an yang
artinya: “Hai sekalian umat manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di Bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah stan; karena sesungguhnya setan itu ialah musuh
yang nyata bagimu.”(QS. Al-Baqarah [2]: 168). Demikianlah Al-Qur’an
mengingatkan manusia untuk makan-makanan yang telah Allah anugerahkan kepada
mereka.
3. Prinsip
kesederhanaan: prinsip ini mengandung arti dalam melakukan konsumsi tidak boleh
berlebih-lebihan sebagaimana Firman Allah dalam Al-qur’an yang artinya “makan dan minumlah dan jangan engkau
berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melukai
batas” selanjutnya Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
melampaui batas….” (QS.Al-Maidah: 87) arti penting dari ayat ini adalah menjaga keseimbangan dan kesederhanaan
(hidup sesuai dengan kemampuan) dalam konsumsi.
4. Prinsip
kemurahan hati: dalam hal ini islam memerintahkan agar senantiasa memerhatikan
saudara dan tetangga kita dengan senantiasa berbagi rasa kebersamaan.
5. Prinsip
moralitas: selain hal teknis diatas islam juga memperhatikan pembangunan
moralitas spiritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan dengan perintah
agama yang mengajarkan senantiasa menyebut nama Allah bersyukur atas karunianya,
maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa dampak psikologis bagi
pelakunya seperti anti makanan haram baik zatnya maupun cara mendapatkannya
maupun ketenangan jiwa.
C.
Mashlahah
dalam Konsumsi
Dalam
menjelaskan konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih
barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan
rasionalitas ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya.[5]
Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat serta
informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna akan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kegiatan konsumsi.
a.
Fungsi Kesejahteraan,
Maximizer dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali
Dalam meningkatkan kesejahteraan social,
Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah yang
berupa masalih (utilitas, manfaat)
maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan social. Selanjutnya ia mendefinisikan
fungsi social dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan social. [6]
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan
(maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan
lima tujuan dasar:
1) agama
(al-dien),
2) hidup atau jiwa (nafs)
3) keluarga
atau keturunan (nasl);
4) harta
atau kekayaaan (maal);
5) intelek
atau akal (aql)
Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan
wahyu “kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan
tujuan utamanya.”[7]
Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari
fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka hierarki utilitas individu dan
social yang triparti meliputi kebutuhan (daruriat); kesenangan atau kenyaman
(hajaat); dan kemewahan (tahsinaat) sebuah tradisi peninggalan aritotelian,
yang disebut oleh seorang sarjana sebagai “kebutuhan ordinal” (kebutuhan dasar,
kebutuhan terhadap barang-barang “eksternal” dan terahadap barang-barang
psikis).[8]
Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan
tingkat peratama, yaitu kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan perumahan.
Namun demikian Ghazali menyadari bahwan kebutuhan-kebutuhan dasar demikian
cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup dan bahkan
kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua “terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang
tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan
rintangan dan kesukaran dalam hidup.” Kelompok ketiga “mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar
kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi, menerangi atau menghiasi
hidup.”[9]
Walaupun
keselamatan merupakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila pencarian
keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang.
Bahkan pencarian seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan
saja dinginkan tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia
menitikberatkan “jalan tengah” dan “kebenaran” niat seseorang dalam tindakan.
Bila niatnya sesuai dengan atauran ilahi, maka aktivits ekonomi serupa dengan
ibadah - bagian dari panggilan seseorang.[10]
Jelaslah
kalau Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia mengumpulkan kekayaan,
tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun demikian, ia
memperingatkan bahwa jika semnagat “selalu ingin lebih” ini menjurus kepada
keserakahan dan pengajaran nafsu pribadi, maka hal itu dikutuk.[11]
Dalam pengertian inilah ia memandang kekayaan sebagai “ujian terbesar”.
Pada
tingkat pendapatan tertentu, konsumen islam karena memiliki alokasi untuk
hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengonsumsi barang lebih sedikit di
bandingkan nonmusllim. Hal yang membatasinya inilah disebut dengan konsep
mashlahah seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Ghazali. Dalam membandingkan
konsep kepuasan dan konsep ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung didalamnya
mashlahah), kita sangat perlu membandingkan antara tingkatan-tingkatan tujuan
hukum syara’yakni antara lain sebagai berikut.[12]:
1. Daruriyyah
:
Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan
kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen
dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan
dan keluarga, serta harta benda. Jika tujuan ini di abaikan maka tidak aka nada
kedamaian, yang timbul hanyalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang
nyata di akhirat.
2. Hajiyyah
:
Syari’ah yang bertujuan untuk
mempermudah kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori
ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan
menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3. Tahsiniyyah
:
Syari’ah yang menghendaki kehidupan yang
indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi di dalam syari’ah yang
di maksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik.keindahan dan
simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkanya memakai
baju yang nyaman dan indah.
D.
Kebutuhan
dan Keinginan
Bila
masyarakat menghendaki lebih banyak akan suatu barang atau jasa, maka hal ini
akan tercermin pada kenaikan permintaan akan barang dan jasa tersebut. Kehendak
seseorang untuk membeli atau memiliki sesuatu barang dan jasa bisa muncul di
karenakan adanya factor kebutuhan ataupun faktor keinginan. Kebutuhan terkait
dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang atau jasa berfungsi
secara sempurna.
Keinginan
adalah terakait dengan hasrat atau harapan seseorang yang juga dipenuhi belum
tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun barang.
Secara
umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik,
spiritual intelektual ataupun material sedangkan pemenuhan keinginan akan
menambahkan kepuasan atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika
sesuatu kebutuhan diinginkan seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan
melahirkan maslahah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutahan tidak
dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata. Dalam
kasus, jika yang dinginkan bukan merupakan suatu kebutuhan, maka pemenuhan
keinginan tersebut hanya akan memberikan kepuasan saja.
Secara
umum dapat dibedakan kebutuhan dan keinginan sebagaimana dalam tabel berikut.
Karakteristik
|
Keinginan
|
Kebutuhan
|
Sumber
|
Hasrat
(nafsu) manusia
|
Fitrah
manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat
dan berkah
|
Ukuran
|
Preferensi
atau selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan
Islam
|
Dibatasi/dikendalikan
|
Dipenuhi
|
E.
Keinginan
Manusia dan Pemenuhannya
Maksud
kata “keinginan” adalah kebutuhan manusia yang dapat di puaskan. Dalam
kenyataannya, semua keinginan itu tidaklah terbatas. Jika dana yang ada cukup
untuk memuasi satu keinginan, maka keinginan yang lain akan muncul dan jika
terakhir itu telah terpuaskan juga maka akan muncul yang lainnya lagi, dan
dengan demikian hidup akan dipenuhi dengan perjuangan memenuhi rantai keinginan
yang taka da akhirnya itu. Dmikianlah keinginan dan pemenuhannya lalu menjadi
pasak dalam perjuangan ekonomi manusia.
Secara
umum keinginan manusia di golongkan menjadi tiga yakni: penting, nyaman, dan
mewah.
1. Penting
(necesseries)
Penting adalah keinginannya yang
pemuasannya mutlak harus dilakukan, karena jika tidak, maka manusia tidak akan
dapat bertahan hidup. Misalnya: makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
sebagainya, adalah hal-hal yang penting dalam hidup karena jika tidak dipenuhi
maka keberadaan manusia menjadi tidak mungkin. Nabi Muhammad SAW. Menyimpulkan
kebutuhan yang p[aling pokok tersebut dalam sabda berikut ini: “ Cukuplah
bagimu dari dunia ini jika telah terkenyangkan laparmu, tertutupi tubuhmu dan
engkau punya tempat tinggal untuk kau tinggali…” menurut sebuah hadist yang
dilaporkan oleh Tirmidzi, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa kebutuhan dasar
hidup itu meliputi rumah tempat tinggal, pakaian hingga orang tidak telanjang,
seta roti dan air untuk menghilangkan lapar dan haus. Islam tidak saja hak seseorang
untuk memuaskan kebutuhan dasar hidupnya melainkan juga mendorong orang untuk
berjuang guna mendapatkan semua itu.jika dia tidak mampu untuk memperolehnya
karena satu dan lain hal, maka islam menjadikannya tanggung jawab kaum muslimin
dan Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar orang tersebut.[13]
2. Nyaman
(Comforts)
Sebagai istilah ekonomi, menunjukkan
keinginan yang memberikan rasa nyaman dan kemudahan kepada manusia dan yang
gunanya secara umum lebih besar daripada biayanya.
Nyaman berada diatas penting bagi
kehidupan, dan pemenuhanya menjadikan hidup lebih mudah dan
menyenangkan.makanan, pakaian, dan tempat tinggal orang yang biasa itu adalah
kebutuhan dasar baik bagi kelangsungan hidupnya, tetapi makanan yang baik,
pakaian yang baik dan rumah yang baik adalah kenyamanan baginya. Menikmati
kenyamanan ini di perbolehkan didalam Islam.[14]
3. Mewah
(luxuries)
Pembelanjaan yang besar untuk memenuhi
keinginan yang tak perlu berlebihan, disebut kemewahan; misalnya pakaian yang
amat mahal, minuman keras, pemakaian perkakas emas dan perak, pembelanjaan yang
mewah untuk pernikahan maupun acara pesta yang lain, dan diatas semua itu,
penghamburan harta dalam perjudian, pelacuran serta penyayi dan penari, dan
sebagainya. Pengahamburan harta untuk membiayai kemewahan oleh mereka yang
memiliki harta banyak karena distribusi yang tidak adil, mengarahkan kepada
perampasan hak manyoritas dari kebutuhan dasar mereka, sehingga dapat
menyebabkan perpecaha dan pertikaian dan perselisihan di dalm masyarakat.
Terhadap kenyataan ini Al-Qur’an meminta perhatian bagi seluruh pemeluknya: “sesunggunya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamara dan
brjudi....” (QS-Almaaidah [5]:91).
Nabi kaum Muslim juga melarang
penggunaan sutera dan emas yang dipandang sebagai barang mewah pada waktu itu.
Hadist beliau mengenai hal itu sebagai berikut.
Menurut Ummi Salamah, Nabi suci
bersabda: “Barang siapa minum dari bejana emas menuangkan api keperutnya”
(Al-Muwaththa”.
F.
Kesederhanaan
dalam Konsumsi
Al-Qur’an menyebut kaum muslimin sebagai umat
pertengahan, dan karena itu islam menganjurkan prinsip kesederhanan dan
keseimbangsan dalam semua langkah kepada mereka. Di bidang konsumsi, harta
maupun makanan, sikap pertengahan adalah sikap yang paling utama. Baik “kurang
dari semestinya” ( yakni kikir) maupun “lebih dari semestinya” (yakni
berlebihan) dilarang.
a. Kikir:
orang yang kikir adalah orang yang tidak membelanjakan uang untuk dirinya
maupun keluarganya sesuai dengan kemapuannya, demikian pula dia tidak
mengeluarkan kemampuannya, demikian pula ia tidak mengeluarkan uangnya untuk
sedekah.[15]
b. Boros:
menurut seorang mujtahid, boros berarti, pertama membelanjakan uang untuk
barang judi, minuman keras, pelacuran dan sebagainya. Walau jumlah uang yang
dikeluarkan jumlahnya amat sedikit; kedua, berbelanja berlebihan pada barang
halal baik didalam maupun di luar kemampuan; ketiga, belanja maupun sedekah
hanya untuk pamer .
c. Sederhana:
sikap tengah antara ekstrem klikir dan boros direkomendasikan oleh islam
sebagai jalan yang terbaik.
G.
Model
Keseimbangan Dalam Konsumsi Islam
Keseimbangan
konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada keadilan distribusi. Keadilan
konsumsi adalah di mana seorang konsumen membelanjakan penghasilannya untuk
kebutuhan materi dan kebutuhan sosial. Kebutuhan materi dipergunakan untuk
kehidupan duniawi individu dan keluarga. Konsumsi sosial dipergunakan untuk
kepentingan akhirat nanti yang berupa zakat, infaq, dan shadaqah.
Dengan
kata lain konsumen muslim akan membelanjakan pendapatannya untuk duniawi dan
ukhrawi. Di sinilah keunikan konsumen muslim yang mengalokasikan pendapatannya
yang halal untuk zakat sebesar 2,5 % , kemudian baru mengalokasikan dana
lainnya pada tempat konsumsi yang lainnya. Baik berupa konsumsi individu maupun
konsumsi sosial yang lainnya.
Hal
tersebut terjadi karena keseimbangan
konsumsi dalam Islam maka di antara pendapatan konsumen merupakan hak-hak Allah SWT, terhadap para hamba-Nya yang kaya
dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, diikuti sedekah dan
infak. Semua konsumsi itu dapat membersihkan harta dari segala noda syubhat[16]
dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti
rasa kikir, tak mau mengalah dan egois. Perlu kita ketahui bahwa harta kita tidak akan berkurang karena
sedekah. Harta tidak akan hilang karena membayar zakat baik di darat maupun
lautan. Sebaliknya, setiap kali satu kaum menolak membayar zakat, pasti hujan
akan bertahan dari langit. Kalau bukan karena binatang, hujan pasti tidak akan
turun. Semua itu dapat di lihat dalam Al- Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 24-25
yang artinya : “Dan orang- orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan
orang yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta”.[17]
Dengan
adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya
ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat
ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan
sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki
kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya mendapatkan karunia dengan
adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu sehingga muncul
kesejahteraan social yang dininginkan.[18]
Di sinilah, ekonomi Islam menaruh perhatian pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (kemenangan).
Konsumen
muslim selalu menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai
indikator apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan berkah atau
tidak.[19]
Dengan kata lain konsumen akan jenuh apabila mengkonsumsi suatu barang atau jasa apabila tidak terdapat
berkah di dalamnya. Konsumen merasakan maslahah dan menyukainya dan tetap rela
melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat
kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.[20]
1.
Zakat Menciptakan
Kesejahteraan Masyarakat
a.
Zakat dan Perilaku
Sosial
Pengaruh
zakat terhadap perilaku sosial yaitu terlihat pada hubungan antara si kaya dan
si miskin. Zakat dengan sebuah institusi amil zakat, tidak akan terjadi
pengorbanan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi zakat
yang melalui baitul maal. Kerelaan
dan keikhlasan golongan kaya dalam menyisihkan hartanya bagi para mustahik, memberikan suasana pergaulan
sosial yang hangat. Begitu juga efek negatif dari kessenjangan yang amat dalam
antara si kaya dan miskin seperti kriminalitas, maksiat dan sebagainya dapat
terkurangi.
b.
Pemerataan Pendapatan.
Pengelolaan
zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan
pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa
Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber
pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata,
sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap
bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih
merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
c.
Sumber Dana Pembangunan
Banyak
kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan,
maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam
kehidupan kaum termarjinal[21].
Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh
suatu negara berkualitas tinggi. Peran dana zakat sebagai sumber dana
pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka
panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus
siklus kemiskinan antar generasi.
d.
Kesejahteraan Masyarakat
Sekarang
ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari
sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi syariah.
Kenyataan bahwa paradigma yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam
ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya
pengaruh ekonomi konvensional. Salah satu instrumen untuk pemerataan
kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si
miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi
perkembangan iklim usaha.
Zakat
belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah
dalam mengantasi kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka
lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan
miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat
secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian
Kholilah CIES UB Malang 2011).
Konsep
zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari
ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak
lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
H.
Keritikan
Terhadap Teori Konsumsi Konvensional
a. Sekilas
Tentang Ekonomi Kapitalis dan Sosialis
1. Ekonomi
Kapitalis
System kapitalis memandang bahwa
seseorang adalah pemilik satu-satunya terhadap harta yang telah di usahakan.
Tidak ada hak orang lain di dalamnya. Ia memiliki hak mutlak untuk
membelanjakan sesuai dengan keinginanya.[22]
Kelemahan sitem ekonomi kapitalis:
a. Munculnya
kesenjangan perimbangan dalam distribusi kekayaan antar individu, dan
sarana-sarana produksi hanya akan terkumpul satu kelompok saja.
b. Timbulnya
krisis dan merajalelanya kejahatan karena meningkatkan pengangguran yang
disebabkan banyaknya produsen yang berhenti berproduksi dan menutup pabrik.
c. Meningkatkan
praktek monopoli secara secara empiris-aplikatif dan yuridis sebagai bagian dan
usah untuk melemahkan semangat persaingan.
d. Kebebasan
tanpa batas dalam pekerjaan dan alokasi kekayaan.
2. Ekonomi
Sosialis
System ini memandang bahwa segala
bentuk sumber kekayaan dan alat-alat produksi adalah milik bersama masyarakat.
Para anggota masyarakat secara individu tidak memiliki hak kecuali pada
retribusi yang mereka proleh sebagai bentuk pelayanan public. Negara hadir
menggantikan masyarakat dengan dominasi sebagai kekuatan pengontrol tunggal.
Kelemahan system sosialis:
a. Adanya
kontradiksi antara kecenderungan yang ditetapkan oleh system sosialis.
b. Gradasi
kedudukan individu pada derajat budak dalam priode yang penuh dengan
ketidakadilan dan angan-angan untuk menciptakan kesejajaran dalam masyarakat.
c. Semakin
menyempitnya sumber pendapatan Negara sosialis. Mereka hidup dibawah garis
kemiskinan dan kekurangan.
3. Kritikan
terhadap teori konsumsi Kapitalis dan sosialis
Ekonomi Islam memiliki struktur
“scientific” yang lengkap, dengan adanya landasan filosofi, fodasi mikro, dan
paradigm Islam. Kelengkapan ini menunjukkan bahwa Islam memiliki potensi yang
cukup besar untuk membangun sebuah system atau model ekonomi yang system Islam.
1. Ekonomi
kapitalis/konvensional telah gagal memahami bahwa secara prinsip kepercayaan
suatu agamalah yang mewujudkan fondasi filosofi dari suatu system.
2. Jiak
system ekonomi kapitalis/konvensional memandang wujud perbedaan mazhab didalam
Islam, menampakkan bahwa mereka sendiri mengabaikan perbedaan yang juga wujud
di dalam ekonomi kapitalisme/konvensional.
Nah hal inilah yang membedakan
kedua system diatas adalah tentang haka kepemilikan. Walaupun islam mengakui
hak milik pribadi, tetapi sifatnya tidaklah mutlak sepenuhnya (absolut).
Artinya seluruh harta dan kekayaan, kepemilikan sumber-sumber daya alam adalah
milik Allah SWT secara mutlak. Yang dimana manusia hanya diberikan hak
kepemilikan untuk mengoptimalkan pemberdayaan sumber-sumber kekayaan. Jadi
kepemiikan itu bersifat amanah dan selanjutnya dipergunakan dengan
aturan-aturan syari’ah demi untuk mendaptkan kemenangan (falah) didua tempat
dunia dan akhirat. Jadi cukup berbeda konsep ajaran kepemilikan di dalam
kapitalisme yang bersifat absolut sehingga manusia bebas menggunakan tanpa
batasan.
Di dalam kapitalisme, filosofi
ekonomi di refleksikan dengan “laissez-faire”
dan “invisible hand”. Landsan filosofi ini kemudian diterjemahkan oleh dasar
mikro kapitalisme yang dilihat dari tingkah laku manusia yang hanya memikirkan
kesejahteraan dunia semata. Sedangkan dasar filosofi bagi ekonomi Islam sangat
berbeda dimana ekonomi Islam berlandaskan konsep ‘illahiah’ seperti tauhid,
khalifah amanah (sccountability), dan mengoptimalkan falah baik dunia maupun
diakhirat kelak. Lendasan inilah yang menjadikan tingkah laku ekonom muslim
(syari’atic man) mengarah pada terbentuknya ekonomi Islsam.
Disamping hal tersebut prilaku
konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya
mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan individulisme nya namun mereka juga
sekaligis memenuhi kebutuhan social (spiritual). Konsumen muslim ketika
mendapatkan pengahasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia
berfikir dalam pendapatan yang sudah diraihnya itu hanya dihabiskan untuk
dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hanya hidup untuk mencari
ridha dari Allah swt, sebagian pendapatannya disumbangkan dijalan Allah (Fisabilillah).
Konsep yang seperti ini yang tak dapat kita jumpai di konsep konvensional
adalah adanya saluran penyeimbang dari sluran kebutuhan indevidualis, yang
disebut dengan saluran konsumsi social. Al-qur’an mengajarkan umatnya agar
menyalurkan hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq hal ini menegaskan
bahwa umat islam merupakan mata rantai yang kokoh yang sling menguatkan bagi
umat Islam lainnya
I.
Perbedaan
Konsumsi Barat dan Islam
Saat ini kita membagi sistem ekonomi konvensional menjadi
2 jenis yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme adalah suatu sistem
ekonomi yang secara jelas ditandai oleh berkuasanya uang atau modal yang
dimiliki seseorang sedangkan sosialisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara
jelas ditandai dengan berkuasanya pemerintah dalam kegiatan ekonomi yang
menghapus penguasaan faktor-faktor produksi milik pribadi. Adapun perbedaan
antara sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme dengan sistem ekonomi islam dapat
diterangkan dengan tabel dibawah ini :
Ekonomi Islam
|
Ekonomi Kapitalis
|
Bersumber dari Al-qur’an, As-sunnah, dan ijtihad
|
Bersumber dari pikiran dan pengalaman manusia
|
Berpandangan dunia akhirat
|
Berpandangan dunia sekuler
|
Kepemilikan individu terhadap uang/modal bersifat nisbi
|
Kepemilikan individu terhadap modal/uang bersifat
mutlak
|
Mekanisme pasar bekerja menurut mashlahat
|
Mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri
|
Kompetisi usaha dikontrol oleh syariat
|
Kompetisi usaha bersifat bebas dan melahirkan monopoli
|
Kesejahteraan bersifat jasmani, rohani, dan akal
|
Kesejahteraan bersifat jasadiah
|
Motif mencari keuntungan diakui lewat cara-cara
yang halal
|
Motif mencari keuntungan diakui tanpa ada batasan yang
berlaku
|
Pemerintah aktif sebagai pengawas, pengontrol, dan
wasit yang adil dalam kegiatan ekonomi
|
Pemerintah sebagai penonton pasif yang netral dalam
kegiatan ekonomi
|
Pemberlakuan distribusi pendapatan
|
Tidak dikenal distribusi pendapatan secara merata
|
Ekonomi Islam
|
Ekonomi Sosialis
|
Bersumber dari Al-qur’an, As-sunnah, dan ijtihad
|
Bersumber dari hasil pikiran manusia filsafat dan
pengalaman
|
Berpandangan dunia akhirat
|
Berpandangan dunia sekuler ekstrim atau atheis
|
Kepemilikan individu terhadap uang/modal bersifat nisbi
|
Membatasi bahkan menghapuskan kepemilikan individu atas
modal
|
Mekanisme pasar bekerja menurut maslahat
|
Perekonomian dijalankan lewat perencanaan pusat oleh
negara
|
Kompetisi usaha dikontrol oleh syariat
|
Tidak berlaku mekanisme harga melainkan disesuaikan
dengan kegunaan barang bagi masyarakat
|
Kesejahteraan bersifat jasmani, rohani, dan akal
|
Negara berperan sebagai pemilik, pengawas, dan penguasa
utama perekonomian
|
Motif mencari keuntungan diakui lewat cara-cara yang
halal
|
Tidak mengakui motif mencari keuntungan
|
Pemerintah aktif sebagai pengawas, pengontrol, dan
wasit yang adil dalam kegiatan ekonomi
|
Pemerintah mengambil alih semua kegiatan ekonomi
|
Pemberlakuan distribusi pendapatan
|
Menyamakan penghasilan dan pendapatan individu
|
Berdasarkan tabel diatas, kita dapat melihat perbedaan yang jelas antara ekonomi
konvensional adalah sbb.
1.
Ekonomi Islam
mempunyai pedoman/acuan dalam kegiatan ekonomi yang bersumber dari wahyu ilahi
maupun pemikiran para mujtahid sedangkan ekonomi konvensional didasarkan kepada
pemikir yang didasarkan kepada paradigma pribadi mereka masing-masing sesuai
dengan keinginannya.
2.
Dalam ekonomi Islam
negara berperan sebagai wasit yang adil, maksudnya pada saat tertentu negara
dapat melakukan intervensi dalam perekonomian dan adakalanya pun tidak
diperbolehkan untuk ikut campur, contohnya pada saat harga-harga naik, apabila
harga naik disebabkan karena ada oknum yang melakukan rekayasa pasar maka
pemerintah wajib melakukan intervensi sedangkan apabila harga naik karena
alamiah maka pemerintah tidak boleh ikut campur dalam menetapkan harga, seperti
yang diriwayatkan dalam hadits Nabi terkait kenaikan harga. Dalam ekonomi
konvensional, kapitalis tidak mengakui peran pemerintah dalam perekonomian,
dalam sosialis negara berperan absolut dalam ekonomi sehingga tidak terdapat
keseimbangan antara kedua sistem tersebut.
3. Dalam ekonomi Islam mengakui motif
mencari keuntungan tetapi dengan cara-cara yang halal, dalam ekonomi kapitalis
mengakui motif mencari keuntungan tetapi tidak ada batasan tertentu sehingga
sangat bebas sesuai yang dilandasi dengan syahwat spekulasi dan spirit rakus
para pelaku ekonomi.
4. Dalam ekonomi konvensional tidak
mengenal sistem zakatnya didalamnya sehingga cenderung terjadi ketimpangan
sosial dalam masyarakat antara orang miskin dan orang kaya. Sedangkan telah
kita ketahui bahwa sudah sejak lama islam menetapkan kepada umatnya untuk
membayar zakat sehingga distribusi pendapatan merata sedikit demi sedikit dapat
diwujudkan. Kita pun dapat membuktikan keseimbangan pasar apabila sistem zakat
diberlakukan, yaitu apabila sistem zakat diberlakukan, orang kaya pasti akan
menyisihkan pendapatannya untuk membayar zakat sehingga permintaan barang orang
kaya semakin berkurang sehingga kurva permintaan (demand) bergeser ke sisi
kiri.
BAB III
A.
KESIMPULAN
1.
Secara umum
konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
2.
Tujuan utama
konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah
kepada Allah.
3.
Disamping itu
kegiatan konsumsi akan membawa berkah bagi konsumen jika :
a. Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
b. Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan
c. Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk
mendapatkan ridho Allah.
4. Ada
beberapa aturan yang dijadikan sebagi pegangan untuk mewujudkan rasionalitas
dalam berkonsumsi.
a. Tidak
boleh hidup bermewah-mewahan.
b. Pelarangan
israf (berlebihan hemat), tabdzir (boros), dan safih (menuruti hawa nafsu).
c. Keseimbangan
dalam berkosumsi.
d. Larangan
berkosumsi atas barang dan jasa yang membahayakan/ haram.
5. Kebutuhan
terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang atau jasa
berfungsi secara sempurna. Keinginan adalah terakait dengan hasrat atau harapan
seseorang yang juga dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi
manusia ataupun barang.
6. Keseimbangan
konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada keadilan distribusi. Keadilan
konsumsi adalah di mana seorang konsumen membelanjakan penghasilannya untuk
kebutuhan materi dan kebutuhan sosial. Konsumsi sosial dipergunakan untuk
kepentingan akhirat nanti yang berupa zakat, infaq, dan shadaqah.
7. System
kapitalis memandang bahwa seseorang adalah pemilik satu-satunya terhadap harta
yang telah di usahakan. Sedangkan system sosialis memandang bahwa segala bentuk
sumber kekayaan dan alat-alat produksi adalah milik bersama masyarakat.
Sedangkan di dalam islam memandang Walaupun islam mengakui hak milik pribadi,
tetapi sifatnya tidaklah mutlak sepenuhnya (absolut). Artinya seluruh harta dan
kekayaan, kepemilikan sumber-sumber daya alam adalah milik Allah SWT secara
mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
1. (P3EI)
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, “Ekonomi Islam” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).
2. Suprayitno,
“Ekonomi Mikro Perspektif Islam”,
(yoyakarta:SUKSES Offset, 2008).
3. Karim
A. Adiwarman, “Ekonomi Mikro Islam Edisi
Keempat”, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012).
4. Utama,
Mufraeni, Huda, Setyanto, Nasution Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, (Jakarta:Kencana, 2010)
5. Chaudry
Sharif Muhammad, “Sistem Ekonomi Islam
Prinsip Dasar”, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012).
7. Paper
semester II “Justifikasi Ekonomi Islam”,
(UIN Ar-raniry Banda Aceh: Perbankan Syari’ah).
[1] Karim A. Adiwarman,” Ekonomi
Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:61.
[2] Minggu, 09 Februari 2014 - 10:27:57 WIB » Diposting oleh : Mohd.
Winario, S.E.I » Hits : 30600 » Ekonomi
[3] Qardhawi yusuf,Peran Nilai
Moral Dalam Prekonomian Islam, Jakarta;Rabbani Press, hlm.48
[4] Chaudhry Sharif Muhammad, “Sistem
Ekonomi Islam Prinsip Dasar”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:139.
[5] P3EI, “Ekonomi Islam”,
Jakarta: Rajawali Pers, Hal:129.
[6] Karim A. Adiwarman,” Ekonomi
Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:62.
[7] Karim A. Adiwarman,” Ekonomi
Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:62.
[8] Ibit, hlm. 62
[9] Karim A. Adiwarman,” Ekonomi
Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:62.
[10] Karim A. Adiwarman,” Ekonomi
Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:63.
[11] Ibit, hlm 63.
[12] Utama, Mufraeni, Huda dan Setyanto Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”,
Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:64.
[13] Chaudhry Sharif Muhammad, “Sistem
Ekonomi Islam Prinsip Dasar”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:141.
[14] Chaudhry Sharif Muhammad, “Sistem
Ekonomi Islam Prinsip Dasar”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:141.
[15] Chaudhry Sharif Muhammad, “Sistem
Ekonomi Islam Prinsip Dasar”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:143.
[16] Sesuatu yang diragukan dan mendekati haram atau berada di
pertengahan antara haram dan halal di dalam.
[18]
Adiwarman A. Karim, Fikih Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), 8-9.
[19] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Grafindo,
2008), 177.
[20] Ibid.,
157
[21] Kaum yang tidak beruntung
[22] Paper semester II “Justifikasi
Ekonomi Islam”, (UIN Ar-raniry Banda Aceh: Perbankan Syari’ah)
0 Komentar untuk "Makalah Ekonomi Mikro Islam TEORI KONSUMSI DAN PRILAKU KONSUMEN ISLAM"