MAKALAH
USHUL FIQH DAN FIQIH
“pertumbuhan
dan perkembangan ushul fiqh’’
Di
susun oleh:
Kelompok
II
Muhibatul
Alami (140603117)
Ali
Umar (140603137)
Pembimbing:
Nurkhalis
Muktar
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA
ACEH
2014
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata kuliah“ Ushul Fiqh dan Fiqh”. Makalah ini berjudul“ PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH”, yang membahas tentang sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ushul fiqh, aliran yang ada dalam ushul fiqh.
Kami
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dalam hal penulisan maupun
pokok bahasan yang kami jelaskan. Berkaitan dengan hal tersebut kami selaku
penulis sangat mengharapkan saran, agar kedepannya kami bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahan kami yang lalu.
Banda Aceh,17
November 2014
Penulis.
i
BAB
I
PENDAHULUAN
I.Latar
Belakang
Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai
kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’
mengenai perbutan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh
dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat
di umpama kan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-dat dan menghasilkan
sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Menurut
sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu di kenal dan di
bukukan dibandingkan dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk telah ada
maka tidak mungkin tidak ada pabriknya.ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak
ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai
sejarah pertumbuhan dan perkemkangan ilmu ushul fiqh sehingga kita bisa
mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.
II.Rumusan
Masalah
a.
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh
b.
Aliran yang ada
dalam ushul fiqh serta menyebutkan tokoh dan karangan mereka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1. Ushul Fiqh
Sebelum Dibukukan
a. Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad
kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam semakin luas dan
banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan
kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa
yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang
menjadi penuntun dalam memahami nash.[1]
Ushul fiqh
sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum
fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh
merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu
ushul fiqh ada mendahului fiqh.[2]
Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban
demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum
secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat,
misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an
atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai
metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum
harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi,
cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu.
Pemecahan demikian adalah prototipe
(bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk
disebut sebagai ilmu ushul fiqh..
Contoh ijtihad
yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian
tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya
lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat
sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan
menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah
bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang
yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua
pahala.”
b. Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat
sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah
saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika
Rasulullah saw. masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam
pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw.
memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut
sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas
khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah
Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai
pada masa Rasulullah saw. sendiri.[3]
Pada era
sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat
telah mempraktikkan ijma’, qiyas,
dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu
masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[4]
Pertama, khalifah biasa
melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Kedua, sahabat mempergunakan
pertimbangan akal (ra’yu), yang
berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu
(nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab
kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw. Qiyas dilakukan
dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan
kemudian hukumnya disamakan.
c. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat.
Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul. Banyak para tabi’in
hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan
berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn
al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.[5]
Metode istinbath tabi’in
umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath
sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
ini mulai muncul dua fenomena penting:
1) Pemalsuan hadits
2) Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu
yang memunculkan kelompok Irak (ahl
al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl
al-hadits).
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana
generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan
para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an
dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa
ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
d. Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam
Syafi’i
Imam Abu
Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbath-nya yaitu, berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang
disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah
satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang
menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal
banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin
Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup
jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik penduduk
Madinah sebagai sumber hukum.[6]
Imam Malik dan
orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada
hadits Rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak
mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal
ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah
adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk
dari Rasulullah saw. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali
sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah saw., yang selama
sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena
itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir,
yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan
tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju
mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
2. Pembukuan Ushul
Fiqh
Pada penghujung
abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204
H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh.
Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath
para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Imam Syafi’i
menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk
surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan
lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H),
seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa
sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara
luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan oleh
imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi dari isi
kitabnya itu. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap
pendapat dan teori Imam Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan
kelemahan teori imam Syafi’i dan terkadang mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama Ushul fiqh dari kalangan
Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka menambahkan
metode atau teori lainnya yaitu istihsan
dan ‘urf dalam mengistinbathkan
hukum. Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal
yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul Madinah
(kesepakatan penduduk madinah).[7]
B. Aliran-aliran
dalam Ushul Fiqh
Sejarah
perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada
beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum,
para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran
fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari
kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut
diuraikan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan
aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat
karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin
banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara
teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu
pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik
dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai
dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Dalam aliran
ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang
terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’,
faktornya karena:[8]
a. Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa
dasar-dasar tasyri’ itu
memang terlepas dari pengaruh furu’.
b. Mereka berkeinginan untuk
mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat
dengan furu’ atau
madzhab.
c. Mereka membuat penguat
kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan berbagai macam dalil,
tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau
melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada
hal-hal berikut, yakni;[9]
a. Analisis kasus-kasus
b. Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
c. Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh
mungkin
d. Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa
terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran
mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan
al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
a. Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w.
412 H).
b. Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
c. Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
d. Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad
bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang
dengan judul;
1) Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad
bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang
kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha
yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah
ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan
pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.[11]
Di antara
kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha
ini antara lain: kitab al-Ushul
(Imam Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul
(Abu Bakar al-Jashash), Ushul
al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi), Ta’shish
an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3. Aliran Gabungan
Pada
perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode
penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari
kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi
lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘
bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan
antara kitab Ushul karya
al-Bazdawi dan al-Ihkam karya
al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi.
Ada pula kitab Tanqih Ushul
karya Shadr al-Syariah al-Hanafi.
Tiga aliran di
atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan
aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang
berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut,
yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala
al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani
al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok
bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana
dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid
al-Syariah.
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya,
maka dapat dibagi secara umum menjadi dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan
pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa Rasulullah
SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam mujtahid
sebelum Imam Syafi’i.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi
menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah),
aliran fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan. Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran
ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dan
madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak
sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan
kaidah.
Aliran yang
kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha
yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah
ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan
pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada
perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode
penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu
dikatakan sebagai aliran gabungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwani,
Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia:
IIIT, 1994.
Anhari,
Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya:
Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media,
2005.
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A.
Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh,
Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’shum
Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar
al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut:
Muassassah al-Risalah, 1994.
[1] A.
Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (
Bandung : Pustaka Setia, 2006 ), hal. 45-46
[2] Muhammad
Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi
al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha
( Beirut : Muassassah al-Risalah, 1994 ), hal. 122-123
[3] Thaha
Jabir Alwani, Methodology in islamic
jurisprudence ( Virginia :IIIT, 1994), hal. 19
[4] Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (
Jakarta : Pranada Media ), hal. 17
[5] Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal.
17-18
[6] Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal.
18
[7] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh ( Jakarta : Logos,
1996 ), hal. 10
[8] Muhammad
Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (
Jombang : Darul Hikmah, 2008 ), hal. 39
[9]Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh ( Jakarta :
Amzah, 2011 ), hal. 8
[10] Masykur
Anhari, Ushul Fiqh ( Surabaya : Diantama, 2008 ), hal. 10
[11] Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal.
25
10
0 Komentar untuk "MAKALAH USHUL FIQH DAN FIQH, Pertumbuhan dan Perkembangan ushul fiqh"