KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam Muamalah.makalah ini
berjudul “Jialah”, yang membahas
tentang pengertian jialah,landasan hukum ji’alah, rukun dan syarat ji’alah,operasional
hukum ji’alah,pelaksanaan jialah,pembatalan jialah,hikmah ji’alah dan aplikasinya
pada perbankan.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,baik dalam hal
penulisan maupun pokok bahasan yang kami jelaskan. Berkaitan dengan hal
tersebut kami selaku penulis sangat mengharapkan saran, agar kedepannya kami
bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kami yang lalu.
Banda
Aceh, April 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ji’alah.................................................................................. 2
2.2 Landasan Hukum ji’alah....................................................................... 3
2.3 Rukun dan
Syarat Ji’alah...................................................................... 5
2.4 Operasional
Hukum Ji’alah................................................................... 6
2.5 Pelaksanaan
Jialah................................................................................. 8
2.6 Pembatalan
Jialah.................................................................................. 8
2.7 Hikmah
jialah........................................................................................ 8
2.8 Aplikasi
pada Perbankan...................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang
telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum
dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya
komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah
dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan
sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk
menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk
memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu
mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan
yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada
umatnya untuk tolong-menolong dengan sesamanya.
Akad ji’alah identik dengan
sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat
diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah
atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang
lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk
dijalankan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa definisi dari ji’alah?
2. Bagaimana Landasan hukum ji’alah?
3. Apa rukun dan syarat ji’alah?
4. Operasional Hukum Ji’alah
5. Pelaksanaan Jialah
6. Pembatalan Jialah
7. Hikmah Ji’alah
8.Aplikasi
Pada Perbankan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ji’alah
Akad ji’alah, ju’l atau ju’liyah secara
bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada
seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan
sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan
tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat
dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka
ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut
syara’, akad ji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang
jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit
diketahui. Ji’alah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang
mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu
jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan,ji’alah dapat
diartikan pula upah mencari benda-benda hilang.
Ji’alah secara
etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang telah
melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat
(dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit
pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari
pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan
yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Ulama Malikiyah mendefinisikan
akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat
tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa
mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik
saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur
untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk
saya, maka dia akan mendapatkan sekian.
Di antara contoh akad ji’alah adalah
hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-orang berprestasi, atau para
pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian harta rampasan
perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu menembus
benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji’alah juga,
komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit
tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an. Para
fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat
mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari
atau kabur.
B. Landasan
Hukum Ji’alah
Jumhur fukaha sepakat bahwa hukum
jialah mubah. Hal ini, didasari karena jialah diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal lain, yang masih termasuk jialah rasulullah membolehkan
memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan Al-Qur’an dan surat
al-fatihah.
Dalam al-Qur’an dengan tegas
Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa
menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf
ayat 72.
قَالُوا
نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ
زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
“Para penyeru itu berkata , Kami
kehilangan piala raja maka siapa yang dapat mengembalikannya, maka ia akan
mendapatkan bahan makanan seberat beban unta. Dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf
: 72)
Sabda nabi saw. kepada para sahabat
yang mendapatkan jialah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang
tersengat,” Ambillah ji’alah (upah) dan berikanaku satu bagian bersama
kalian”.(HR. Bukhari)
Dalil dari
As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:
Artinya : "Sebagian sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah
di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk
tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut
terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu
untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata,
"Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah itu
(para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk
menyembuhkan)?" Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata,
"Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah
berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka
apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?"
Lalu di antara sahabat ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa
meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu
tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk
kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka pun
sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi
kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi
Rabbil 'aalamiin," (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru
lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.
Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian
sahabat berkata, "Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata,
"Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa
yang Beliau perintahkan kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian
Beliau bersabda, "Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai
ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda, "Kamu telah bersikap benar!
Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah
dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I
dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah
perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba
pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk
menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah.
Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka
akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi
sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah
tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah,
dan hanabilah, secara syar’i, akad ji’alah diperbolehkan. Dengan landasan kisah
Nabi Yusuf beserta saudaranya.
Kedudukan transaksi upah (al-ju’l) adalah segala
bekerja bentuk pekerjaan (jasa), yang pemberi upah tidak mengambil sedikitpun
dari upah (hadiah) itu. Sebab, jika pemberi upah mengambil sebagian dari upah
itu, berarti ia harus terikat dengan jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon
penerima upah itu (al-maj’ul) gagal mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan
dalam transaksi upah (al-ju’l), ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi
upah (al-ja’il) mengambil hasil kerja calon penerima upah (al-maj’ul), tanpa
imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia telah melakukan suatu kezaliman.
C. Rukun dan
Syarat Ji’alah
·
Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:
1. Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan
tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang
menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika
barang itu ditemukan.
Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu :
Ø Ja'il yaitu
orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf
dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
Ø 'Amil adalah
orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang
tertentu (bebas).
2. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan
barang atau orang lain.
3. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam
sayembara tersebut).
4. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum
melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
·
Syarat Jialah
1. Pihak-pihak
yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf),
yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah
tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
2. upah (ja’il)
yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak
jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi.
Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak
mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang
haram, seperti minuman keras.
3. Aktivitas
yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang
haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga
paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya.
Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi
dalam akad ji’alah
4. Kompensasi
(materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di
samping tentunya harus halal.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada
masyarakat umum,” Siapa yang memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”.
Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan
barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara
keduanya.
D. Operasional Hukum Ji’alah
Pelaksanaan dalam sistem pengupahan
di antaranya mengandung hukum-hukum pengupahan (ji’alah) yaitu sebagai berikut:
1. Pengupahan
(ji’alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang bertransaksi
dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembetalan terjadi sebelum
pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan
terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak mendapatkan upah
atas pekerjaan.
2. Dalam
pengupahan (ji’alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata,” Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia akan
mendapatkan hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya berhak atas
hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3. Jika
pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara
merata antara mereka.
4. Pengupahan (ji’alah)
tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh
berkata,”Barang siapa menyakiti atau memukuli si Fulan atau memakinya, ia mendapatkan
upah (ji’alah) sekian”.
5. Barang siapa
menemukan barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan suatu pekerjaan
dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di dalamnya terdapat upah (ji’alah),
ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang yang
tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak
awal. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ji’alah tersebut kecuali jika ia
berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi
atas perbuatannya tersebut.
6. Jika
seseorang berkata,”Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia
berhak atas upah(ji’alah),” maka ji’alah seperti itu diperbolehkan ,
kecuali jika ia berkata,”Baranng siapa makan dan tidak memakan sesuatu
daripadanya, ia berhak atasji’alah,” ji’alah seperti
ini tidak sah.
7. Jika pemilik
ji’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah maka
ucapan yang diterima adalahucapan pemilik ji’alah dengan
disuruh bersumpah.jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah maka
ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.
E. Pelaksanaan
Jialah
Teknis
pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Ditentukan oleh orangnya.
Misalnya :
si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.
2. Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu
orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya :
seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan barangku yang hilang maka
akan aku beri upah sekian”.
F. Pembatalan Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh
dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan
menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun,
sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan
diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah
berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum
tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka
’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah
pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau
orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang
yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah
bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka
yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
G. Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian
penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan
membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang
yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal
al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat
persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya
tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan
ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para
pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai
sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan
balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang
akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah
berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7 Artinya: “Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya.”
H. Aplikasi Pada Perbankan
Aplikasinya ialah pada SBIS
(sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ji’alah (Akad ji’alah
adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan). Sesuai dengan FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH JI’ALAH
( SBIS JI’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ji’alah
(SBIS Ji’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ji’alah, dengan memperhatikan
substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Ji’alah. Dalam SBIS
Ji’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi
pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima
pekerjaan); dan objek/underlying Ji’alah (mahall
al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas
Bank Indonesia dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan
menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ji’alah diartikan
sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil
melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang
diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji’alah juga
dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu),
maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Dan
berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah
atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu
juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.
Hikmah yang dapat dipetik adalah
dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap
saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling
tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat
dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai
sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan
balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang
akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ar-Rifa’i,Muhammad
Nasib,1999.Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir / Muhammad Nasib Ar-Rifa’i:Penerjemah,Syihabuddin.—Cet.1
Jakarta : Gema Insani
Al-Maragi,Ahmad
Mustafa,1994.Terjemah Tafsir Al-Maragi. PT. Karya Toha
Putra Semarang ; Semarang
Muhammad, Abu Ja’far bin al Hasan at Thusy, At Thibyan
fi Tafsiiri al Qur’an,
Maktabah al A’lam al Islamy tahun
1209 H. jilid: III.
Ghazaly,H.
Abdul Rahman, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup
Rasjid, H.
Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008.
1 Komentar untuk "MAKALAH TAFSIR AHKAM MUAMALAH “JI’ALAH”"
mystocasino.com vinocasino: youtube, live roulette, baccarat
mystocasino.com vinocasino: youtube, live download youtube videos to mp3 roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live