Muhibbatul Alami

About my Tugas Kuliah and information Blog

Pages

Blogroll

Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya, Jangan Lupa Komentar Dan Baca Juga Postingan Blog Saya Yang Lainnya

MAKALAH TAFSIR AHKAM MUAMALAH “JI’ALAH”




KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat  menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam Muamalah.makalah ini berjudul “Jialah”, yang membahas tentang pengertian jialah,landasan hukum ji’alah, rukun dan syarat ji’alah,operasional hukum ji’alah,pelaksanaan jialah,pembatalan jialah,hikmah ji’alah dan aplikasinya pada perbankan.
   Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,baik dalam hal penulisan maupun pokok bahasan yang kami jelaskan. Berkaitan dengan hal tersebut kami selaku penulis sangat mengharapkan saran, agar kedepannya kami bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kami yang lalu.


                                                                                    Banda Aceh,   April 2015
                                                                                    Penulis,






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Ji’alah.................................................................................. 2
2.2   Landasan Hukum ji’alah....................................................................... 3
2.3  Rukun dan Syarat Ji’alah...................................................................... 5
2.4  Operasional Hukum Ji’alah................................................................... 6
2.5  Pelaksanaan Jialah................................................................................. 8
2.6  Pembatalan Jialah.................................................................................. 8
2.7  Hikmah jialah........................................................................................ 8
2.8  Aplikasi pada Perbankan...................................................................... 9
BAB III PENUTUP
      3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk tolong-menolong dengan sesamanya.
Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari ji’alah?
2.      Bagaimana Landasan hukum ji’alah?
3.      Apa rukun dan syarat ji’alah?
4.   Operasional Hukum Ji’alah
5.   Pelaksanaan Jialah
6.   Pembatalan Jialah
7.   Hikmah Ji’alah
8.Aplikasi Pada Perbankan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ji’alah
Akad ji’alahju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara’, akad ji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui. Ji’alah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan,ji’alah dapat diartikan pula upah mencari benda-benda hilang.
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua  atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.
Di antara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.

B.     Landasan Hukum Ji’alah
Jumhur fukaha sepakat bahwa hukum jialah mubah. Hal ini, didasari karena jialah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal lain, yang masih termasuk jialah rasulullah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan Al-Qur’an dan surat al-fatihah.
 Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72.
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾      

“Para penyeru itu berkata , Kami kehilangan piala raja maka siapa yang dapat mengembalikannya, maka ia akan mendapatkan bahan makanan seberat beban unta. Dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf : 72)
Sabda nabi saw. kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat,” Ambillah ji’alah (upah) dan berikanaku satu bagian bersama kalian”.(HR. Bukhari)
Dalil dari As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:
Artinya : "Sebagian sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?" Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi Rabbil 'aalamiin," (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, "Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, "Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda, "Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah, secara syar’i, akad ji’alah diperbolehkan. Dengan landasan kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.
Kedudukan transaksi upah (al-ju’l) adalah segala bekerja bentuk pekerjaan (jasa), yang pemberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab, jika pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-maj’ul) gagal mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju’l), ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-ja’il) mengambil hasil kerja calon penerima upah (al-maj’ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia telah melakukan suatu kezaliman.

C.    Rukun dan Syarat Ji’alah
·         Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:
1.      Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu :
Ø Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
Ø  'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
2.      Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
3.      Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
4.      Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).

·         Syarat Jialah
1.     Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
2.     upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
3.     Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
4.     Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus halal.

Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.

D.  Operasional Hukum Ji’alah
Pelaksanaan dalam sistem pengupahan di antaranya mengandung hukum-hukum pengupahan (ji’alah) yaitu sebagai berikut:
1.    Pengupahan (ji’alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembetalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2.    Dalam pengupahan (ji’alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata,” Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia akan mendapatkan hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.    Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
4.    Pengupahan (ji’alah) tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh berkata,”Barang siapa menyakiti atau memukuli si Fulan atau memakinya, ia mendapatkan upah (ji’alah) sekian”.
5.    Barang siapa menemukan barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di dalamnya terdapat upah (ji’alah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang yang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ji’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.     Jika seseorang berkata,”Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas upah(ji’alah),” maka ji’alah seperti itu diperbolehkan , kecuali jika ia berkata,”Baranng siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atasji’alah,” ji’alah seperti ini tidak sah.
7.    Jika pemilik ji’alah dan pekerja tidak sependapat tentang  besarnya ji’alah maka ucapan yang diterima adalahucapan pemilik ji’alah dengan disuruh bersumpah.jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.

E.  Pelaksanaan Jialah
Teknis pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.      Ditentukan oleh orangnya.
Misalnya : si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.
2.      Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.

F.   Pembatalan Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.

G. Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7 Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.”

H.      Aplikasi Pada Perbankan
Aplikasinya  ialah  pada  SBIS (sertifikat Bank  Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ji’alah (Akad ji’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).  Sesuai dengan  FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 64/DSN-MUI/XII/2007  tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH JI’ALAH ( SBIS JI’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ji’alah (SBIS Ji’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ji’alah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Ji’alah. Dalam SBIS Ji’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ji’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.





















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji’alah juga dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Dan berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.
Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.







DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i,Muhammad Nasib,1999.Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu
            Katsir / Muhammad Nasib Ar-Rifa’i:Penerjemah,Syihabuddin.—Cet.1
            Jakarta : Gema Insani
Al-Maragi,Ahmad Mustafa,1994.Terjemah Tafsir Al-Maragi. PT. Karya Toha
            Putra Semarang ; Semarang
Muhammad, Abu Ja’far bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an,
Maktabah al A’lam al Islamy tahun 1209 H. jilid: III.
Ghazaly,H. Abdul Rahman, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008.



Bagikan :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "MAKALAH TAFSIR AHKAM MUAMALAH “JI’ALAH”"

mystocasino.com vinocasino: youtube, live roulette, baccarat
mystocasino.com vinocasino: youtube, live download youtube videos to mp3 roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live roulette, baccarat, live

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top